Banjir Adalah Makanan Sehari-hariku

Jim­my Kegel
Link : https://downtoearthmagazine.nl/overstromingen-zijn-mijn-dagelijkse-kost/

Di tepi­an Sun­gai Kapuas, kehidu­pan war­ga Tam­be­lan Sampit ber­jalan berdampin­gan den­gan air. Ham­pir seti­ap musim hujan, ban­jir pasang mengge­nan­gi rumah-rumah, mening­galkan lumpur dan kerusakan. Namun bagi seba­gian war­ga, fenom­e­na ini bukan­lah keja­di­an luar biasa.

Zam­rud (66), seo­rang nenek yang men­ga­suh cucun­ya Gita, mener­i­ma ban­jir pasang seba­gai bagian dari kese­har­i­an. Seti­ap kali air surut, ia men­ger­ingkan lan­tai, mem­ber­sihkan per­abot, dan mena­ta ulang barang-barang. “Hari ini adalah hari ini, besok adalah besok. Kalau tidak ban­jir, alham­dulil­lah. Kalau ban­jir lagi, ya kita bersihkan lagi,” ujarnya ten­ang.

Fenom­e­na seper­ti ini digo­longkan seba­gai ben­cana eksten­sif—ben­cana berdampak ren­dah namun beru­lang, seper­ti ban­jir lokal atau kek­eringan. Data Unit­ed Nations Office for Dis­as­ter Risk Reduc­tion (UNDRR) men­catat ben­cana jenis ini menyum­bang 14% kor­ban jiwa dan 42% keru­gian ekono­mi glob­al. Mes­ki jarang men­ja­di sorotan media, dampaknya sig­nifikan: meng­ham­bat perkem­ban­gan ekono­mi, mem­per­bu­ruk kemiski­nan, dan memicu kerentanan sosial.

Tam­be­lan Sampit adalah salah satu wilayah ter­miskin di Pon­tianak. Infra­struk­tur ter­batas, san­i­tasi buruk, dan keter­batasan air bersih men­ja­di bagian dari kehidu­pan sehari-hari. Banyak war­ga ter­pak­sa man­di dan men­cu­ci di kanal yang ter­ce­mar. Ban­jir pasang di wilayah ini diper­parah oleh salu­ran drainase yang ter­sum­bat, penu­runan daya ser­ap tanah aki­bat ekspan­si perke­bunan kela­pa saw­it, ser­ta diskrim­i­nasi sosial yang meng­ham­bat akses peker­jaan.

Dampak ban­jir tidak hanya ter­li­hat dari kerusakan fisik. Aktiv­i­tas ekono­mi ter­hen­ti, anak-anak kehi­lan­gan wak­tu bela­jar, dan penyak­it kulit ser­ta diare mere­bak aki­bat kual­i­tas air yang buruk. Meskipun anca­man semakin besar aki­bat peruba­han iklim dan kenaikan muka air laut, inter­ven­si kebi­jakan khusus ham­pir tidak ada. Seo­rang peja­bat daer­ah bahkan meny­atakan, “Jika aktiv­i­tas war­ga tetap dap­at ber­jalan saat ban­jir, kami tidak men­gang­gap­nya seba­gai ben­cana.”

Kon­disi ini menggam­barkan fenom­e­na “katak dalam pan­ci” — air yang per­la­han mem­anas tan­pa dis­adari hing­ga ter­lam­bat. Kenaikan per­mukaan air seti­ap tahun adalah tan­da bahaya yang dia­baikan. Tan­pa peruba­han cara pan­dang dan langkah mit­i­gasi, ban­jir pasang yang kini diang­gap biasa berpoten­si men­ja­di kri­sis serius dalam wak­tu dekat.

Seba­gaimana dis­am­paikan Zam­rud, den­gan tat­a­pan yang meny­im­pan ketaba­han, “Kami berusa­ha, sisanya Tuhan yang menen­tukan.”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *