Home Sweet Home, Even in The Slums

Tery Seti­awan a, Mis­sil­iana Rias­nu­gra­hani b, Edwin de Jong c
DOI : https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e19704

Rumah, Alam, dan Ikatan Sosial: Men­gukur Rasa Keterikatan Tem­pat di Per­muki­man Kumuh Indone­sia

Halo, pem­ba­ca setia! Saya kem­bali lagi den­gan artikel menarik lain­nya, kali ini mem­ba­has hasil penelit­ian kami ten­tang rasa keterikatan tem­pat di per­muki­man kumuh Indone­sia. Penelit­ian ini mungkin ter­den­gar akademis, tapi per­cay­alah, hasil­nya san­gat rel­e­van den­gan kehidu­pan sehari-hari, khusus­nya bagi mere­ka yang ting­gal di lingkun­gan padat dan kurang fasil­i­tas. Kita akan men­gu­pas bagaimana penelit­ian ini dilakukan dan apa temuan menarik yang kami dap­atkan.

Men­ga­pa Rasa Keterikatan Tem­pat Pent­ing?
Sebelum mem­ba­has detail penelit­ian, mari kita paha­mi dulu apa itu rasa keterikatan tem­pat. Secara seder­hana, ini adalah ikatan emo­sion­al yang kita mili­ki ter­hadap suatu tem­pat. Bisa beru­pa kam­pung hala­man, rumah, bahkan sebuah taman yang ser­ing kita kun­jun­gi. Rasa keterikatan ini tidak hanya sekadar perasaan nya­man, tetapi juga memen­garuhi per­i­laku kita, seper­ti bagaimana kita mer­awat lingkun­gan sek­i­tar, berin­ter­ak­si den­gan tetang­ga, dan bahkan mengam­bil kepu­tu­san untuk tetap ting­gal atau pin­dah.

Penelit­ian ten­tang rasa keterikatan tem­pat sudah banyak dilakukan, teruta­ma di daer­ah yang memi­li­ki lingkun­gan yang baik dan fasil­i­tas yang memadai. Namun, bagaimana den­gan mere­ka yang ting­gal di per­muki­man kumuh? Apakah mere­ka juga memi­li­ki rasa keterikatan tem­pat yang kuat? Per­tanyaan ini­lah yang men­dorong kami untuk melakukan penelit­ian ini.

Men­je­la­jahi Per­muki­man Kumuh di Indone­sia
Penelit­ian ini dilakukan di tiga kota di Indone­sia: Bima, Man­a­do, dan Pon­tianak. Kami memil­ih per­muki­man kumuh di kota-kota ini kare­na ker­aga­man kon­disi geografis dan sosial ekonominya. Bayangkan, kami harus men­gun­jun­gi rumah-rumah di gang sem­pit, berin­ter­ak­si den­gan war­ga yang mungkin memi­li­ki latar belakang berbe­da-beda.

Untuk men­da­p­atkan data yang rep­re­sen­tatif, kami meng­gu­nakan metode ran­dom walk. Bayangkan seper­ti ber­jalan-jalan acak, tetapi den­gan tujuan. Kami mem­u­lai dari titik ter­ten­tu, mis­al­nya kan­tor kelu­ra­han, lalu men­gun­jun­gi rumah-rumah den­gan inter­val ter­ten­tu hing­ga men­ca­pai jum­lah respon­den yang ditar­getkan, yaitu 300 respon­den dari seti­ap kota. Total, kami berhasil mengumpulkan data dari 700 respon­den.

Men­gukur Rasa Keterikatan: Lebih dari Sekadar Survei
Men­gukur rasa keterikatan tem­pat tidak semu­dah bertanya, “Apakah Anda suka tem­pat ting­gal Anda?” Kami meng­gu­nakan skala pen­guku­ran yang sudah ada, yang dikem­bangkan oleh Ray­mond dkk. (2010), lalu mem­o­d­i­fikasinya agar sesuai den­gan kon­teks per­muki­man kumuh. Skala ini ter­diri dari 24 per­tanyaan yang dikelom­pokkan ke dalam lima dimen­si:

Iden­ti­tas Tem­pat: Seber­a­pa kuat Anda merasa tem­pat ini bagian dari diri Anda?
Keter­gan­tun­gan Tem­pat: Seber­a­pa pent­ing tem­pat ini bagi aktiv­i­tas dan kehidu­pan sehari-hari Anda?
Ikatan den­gan Alam: Seber­a­pa kuat ikatan Anda den­gan lingkun­gan alam di sek­i­tar tem­pat ting­gal Anda?
Ikatan Kelu­ar­ga: Seber­a­pa besar per­an kelu­ar­ga dalam mem­bu­at Anda betah ting­gal di tem­pat ini?
Ikatan Per­sa­ha­batan: Seber­a­pa pent­ing perte­m­anan yang Anda ban­gun di tem­pat ini?

Respon­den dim­inta untuk men­jawab per­tanyaan-per­tanyaan terse­but den­gan skala Lik­ert enam poin, mulai dari san­gat tidak setu­ju hing­ga san­gat setu­ju. Pros­es pen­er­jema­han skala ke dalam bahasa Indone­sia juga dilakukan secara hati-hati untuk memas­tikan keaku­ratan dan keje­lasan arti.

Anal­i­sis Data: Men­gungkap Pola Tersem­bun­yi
Data yang telah terkumpul kemu­di­an dianal­i­sis meng­gu­nakan dua metode sta­tis­tik: Anal­i­sis Fak­tor Eksplo­ratif (EFA) dan Anal­i­sis Fak­tor Kon­fir­ma­tori (CFA). EFA digu­nakan untuk mengi­den­ti­fikasi struk­tur fak­tor yang men­dasari data, semen­tara CFA digu­nakan untuk mengkon­fir­masi struk­tur fak­tor yang telah diiden­ti­fikasi.

Hasil anal­i­sis menun­jukkan hal yang menarik. Awal­nya, kami men­ga­sum­sikan akan ada lima fak­tor, sesuai den­gan lima dimen­si dalam skala pen­guku­ran. Namun, terny­a­ta EFA dan CFA menun­jukkan bah­wa struk­tur fak­tor yang pal­ing sesuai adalah empat fak­tor, bukan lima. Fak­tor keter­gan­tun­gan tem­pat dan ikatan den­gan alam bergabung men­ja­di satu fak­tor, yang kami sebut seba­gai keter­gan­tun­gan tem­pat dan alam.

Men­ga­pa hal ini ter­ja­di? Kami berpen­da­p­at bah­wa di per­muki­man kumuh, alam dan tem­pat ting­gal ser­ingkali meny­atu. War­ga mungkin meman­faatkan sum­ber daya alam di sek­i­tar mere­ka untuk memenuhi kebu­tuhan sehari-hari, sehing­ga keter­gan­tun­gan mere­ka ter­hadap alam dan tem­pat ting­gal men­ja­di tidak ter­pisahkan.

Temuan Penelit­ian: Gam­baran Rasa Keterikatan di Per­muki­man Kumuh
Penelit­ian ini menun­jukkan bah­wa meskipun ting­gal di lingkun­gan yang kurang ide­al, war­ga per­muki­man kumuh tetap memi­li­ki rasa keterikatan tem­pat yang kuat. Fak­tor keter­gan­tun­gan tem­pat dan alam men­ja­di fak­tor pal­ing dom­i­nan, diiku­ti oleh iden­ti­tas tem­pat, ikatan kelu­ar­ga, dan ikatan per­sa­ha­batan. Ini menun­jukkan bah­wa meskipun kon­disi fisik lingkun­gan kurang memadai, ikatan sosial dan keter­gan­tun­gan ter­hadap sum­ber daya alam di sek­i­tar tem­pat ting­gal tetap men­ja­di fak­tor pent­ing dalam mem­ben­tuk rasa keterikatan.

Imp­likasi Penelit­ian: Menu­ju Pema­haman yang Lebih Men­dalam
Temuan ini memi­li­ki imp­likasi pent­ing bagi berba­gai pihak. Bagi para peren­cana kota, hasil penelit­ian ini dap­at mem­ban­tu dalam mer­an­cang pro­gram pem­ban­gu­nan yang lebih sen­si­tif ter­hadap kebu­tuhan sosial dan lingkun­gan war­ga per­muki­man kumuh. Bagi para peker­ja sosial, pema­haman ten­tang rasa keterikatan tem­pat dap­at mem­ban­tu dalam mem­ban­gun pro­gram pem­ber­dayaan masyarakat yang lebih efek­tif. Dan bagi kita semua, penelit­ian ini mengin­gatkan kita akan pent­ingnya meng­har­gai ikatan emo­sion­al yang dim­i­li­ki seti­ap orang ter­hadap tem­pat tinggal­nya, ter­lepas dari kon­disi lingkun­gan­nya.

Keter­batasan Penelit­ian dan Arah Penelit­ian Selan­jut­nya
Ten­tu saja, penelit­ian ini memi­li­ki keter­batasan. Sam­pel penelit­ian ter­batas pada tiga kota, sehing­ga gen­er­al­isasi temuan per­lu dilakukan den­gan hati-hati. Selain itu, penelit­ian ini belum meneli­ti kore­lasi antara rasa keterikatan tem­pat den­gan per­i­laku pro-lingkun­gan, mis­al­nya, par­tisi­pasi dalam kegiatan pen­gelo­laan lingkun­gan. Penelit­ian selan­jut­nya dap­at menin­dak­lan­ju­ti hal ini untuk men­da­p­atkan pema­haman yang lebih kom­pre­hen­sif.

Kes­im­pu­lan
Penelit­ian ini mem­berikan kon­tribusi pent­ing dalam mema­ha­mi rasa keterikatan tem­pat di per­muki­man kumuh Indone­sia. Temuan ini menun­jukkan bah­wa meskipun kon­disi lingkun­gan kurang memadai, rasa keterikatan tem­pat tetap kuat dan dipen­garuhi oleh fak­tor keter­gan­tun­gan tem­pat dan alam, iden­ti­tas tem­pat, ikatan kelu­ar­ga, dan ikatan per­sa­ha­batan. Penelit­ian ini dihara­p­kan dap­at men­ja­di dasar bagi pengem­ban­gan pro­gram-pro­gram yang lebih respon­sif ter­hadap kebu­tuhan war­ga per­muki­man kumuh dan men­dorong ter­cip­tanya lingkun­gan yang lebih berke­lan­ju­tan. Semoga tulisan ini berman­faat dan dap­at mem­bu­ka wawasan kita semua.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *