Home Sweet Home, Even in The Slums
Rumah, Alam, dan Ikatan Sosial: Mengukur Rasa Keterikatan Tempat di Permukiman Kumuh Indonesia
Halo, pembaca setia! Saya kembali lagi dengan artikel menarik lainnya, kali ini membahas hasil penelitian kami tentang rasa keterikatan tempat di permukiman kumuh Indonesia. Penelitian ini mungkin terdengar akademis, tapi percayalah, hasilnya sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, khususnya bagi mereka yang tinggal di lingkungan padat dan kurang fasilitas. Kita akan mengupas bagaimana penelitian ini dilakukan dan apa temuan menarik yang kami dapatkan.
Mengapa Rasa Keterikatan Tempat Penting?
Sebelum membahas detail penelitian, mari kita pahami dulu apa itu rasa keterikatan tempat. Secara sederhana, ini adalah ikatan emosional yang kita miliki terhadap suatu tempat. Bisa berupa kampung halaman, rumah, bahkan sebuah taman yang sering kita kunjungi. Rasa keterikatan ini tidak hanya sekadar perasaan nyaman, tetapi juga memengaruhi perilaku kita, seperti bagaimana kita merawat lingkungan sekitar, berinteraksi dengan tetangga, dan bahkan mengambil keputusan untuk tetap tinggal atau pindah.
Penelitian tentang rasa keterikatan tempat sudah banyak dilakukan, terutama di daerah yang memiliki lingkungan yang baik dan fasilitas yang memadai. Namun, bagaimana dengan mereka yang tinggal di permukiman kumuh? Apakah mereka juga memiliki rasa keterikatan tempat yang kuat? Pertanyaan inilah yang mendorong kami untuk melakukan penelitian ini.
Menjelajahi Permukiman Kumuh di Indonesia
Penelitian ini dilakukan di tiga kota di Indonesia: Bima, Manado, dan Pontianak. Kami memilih permukiman kumuh di kota-kota ini karena keragaman kondisi geografis dan sosial ekonominya. Bayangkan, kami harus mengunjungi rumah-rumah di gang sempit, berinteraksi dengan warga yang mungkin memiliki latar belakang berbeda-beda.
Untuk mendapatkan data yang representatif, kami menggunakan metode random walk. Bayangkan seperti berjalan-jalan acak, tetapi dengan tujuan. Kami memulai dari titik tertentu, misalnya kantor kelurahan, lalu mengunjungi rumah-rumah dengan interval tertentu hingga mencapai jumlah responden yang ditargetkan, yaitu 300 responden dari setiap kota. Total, kami berhasil mengumpulkan data dari 700 responden.
Mengukur Rasa Keterikatan: Lebih dari Sekadar Survei
Mengukur rasa keterikatan tempat tidak semudah bertanya, “Apakah Anda suka tempat tinggal Anda?” Kami menggunakan skala pengukuran yang sudah ada, yang dikembangkan oleh Raymond dkk. (2010), lalu memodifikasinya agar sesuai dengan konteks permukiman kumuh. Skala ini terdiri dari 24 pertanyaan yang dikelompokkan ke dalam lima dimensi:
Identitas Tempat: Seberapa kuat Anda merasa tempat ini bagian dari diri Anda?
Ketergantungan Tempat: Seberapa penting tempat ini bagi aktivitas dan kehidupan sehari-hari Anda?
Ikatan dengan Alam: Seberapa kuat ikatan Anda dengan lingkungan alam di sekitar tempat tinggal Anda?
Ikatan Keluarga: Seberapa besar peran keluarga dalam membuat Anda betah tinggal di tempat ini?
Ikatan Persahabatan: Seberapa penting pertemanan yang Anda bangun di tempat ini?
Responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan skala Likert enam poin, mulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Proses penerjemahan skala ke dalam bahasa Indonesia juga dilakukan secara hati-hati untuk memastikan keakuratan dan kejelasan arti.
Analisis Data: Mengungkap Pola Tersembunyi
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan dua metode statistik: Analisis Faktor Eksploratif (EFA) dan Analisis Faktor Konfirmatori (CFA). EFA digunakan untuk mengidentifikasi struktur faktor yang mendasari data, sementara CFA digunakan untuk mengkonfirmasi struktur faktor yang telah diidentifikasi.
Hasil analisis menunjukkan hal yang menarik. Awalnya, kami mengasumsikan akan ada lima faktor, sesuai dengan lima dimensi dalam skala pengukuran. Namun, ternyata EFA dan CFA menunjukkan bahwa struktur faktor yang paling sesuai adalah empat faktor, bukan lima. Faktor ketergantungan tempat dan ikatan dengan alam bergabung menjadi satu faktor, yang kami sebut sebagai ketergantungan tempat dan alam.
Mengapa hal ini terjadi? Kami berpendapat bahwa di permukiman kumuh, alam dan tempat tinggal seringkali menyatu. Warga mungkin memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ketergantungan mereka terhadap alam dan tempat tinggal menjadi tidak terpisahkan.
Temuan Penelitian: Gambaran Rasa Keterikatan di Permukiman Kumuh
Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tinggal di lingkungan yang kurang ideal, warga permukiman kumuh tetap memiliki rasa keterikatan tempat yang kuat. Faktor ketergantungan tempat dan alam menjadi faktor paling dominan, diikuti oleh identitas tempat, ikatan keluarga, dan ikatan persahabatan. Ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi fisik lingkungan kurang memadai, ikatan sosial dan ketergantungan terhadap sumber daya alam di sekitar tempat tinggal tetap menjadi faktor penting dalam membentuk rasa keterikatan.
Implikasi Penelitian: Menuju Pemahaman yang Lebih Mendalam
Temuan ini memiliki implikasi penting bagi berbagai pihak. Bagi para perencana kota, hasil penelitian ini dapat membantu dalam merancang program pembangunan yang lebih sensitif terhadap kebutuhan sosial dan lingkungan warga permukiman kumuh. Bagi para pekerja sosial, pemahaman tentang rasa keterikatan tempat dapat membantu dalam membangun program pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif. Dan bagi kita semua, penelitian ini mengingatkan kita akan pentingnya menghargai ikatan emosional yang dimiliki setiap orang terhadap tempat tinggalnya, terlepas dari kondisi lingkungannya.
Keterbatasan Penelitian dan Arah Penelitian Selanjutnya
Tentu saja, penelitian ini memiliki keterbatasan. Sampel penelitian terbatas pada tiga kota, sehingga generalisasi temuan perlu dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, penelitian ini belum meneliti korelasi antara rasa keterikatan tempat dengan perilaku pro-lingkungan, misalnya, partisipasi dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Penelitian selanjutnya dapat menindaklanjuti hal ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami rasa keterikatan tempat di permukiman kumuh Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi lingkungan kurang memadai, rasa keterikatan tempat tetap kuat dan dipengaruhi oleh faktor ketergantungan tempat dan alam, identitas tempat, ikatan keluarga, dan ikatan persahabatan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pengembangan program-program yang lebih responsif terhadap kebutuhan warga permukiman kumuh dan mendorong terciptanya lingkungan yang lebih berkelanjutan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat membuka wawasan kita semua.

Tery Setiawan

Missiliana Riasnugrahani

Edwin de Jong