More than money
Halo, pembaca setia! Kali ini saya akan membahas sebuah penelitian menarik yang kami lakukan tentang ketahanan rumah tangga di komunitas perkotaan rawan banjir di Indonesia. Penelitian ini, yang kami publikasikan di jurnal terkemuka, menyelidiki hubungan rumit antara persepsi risiko, kesejahteraan material, keterikatan tempat, dan ketahanan rumah tangga. Sebagai penulis utama penelitian ini, saya akan mencoba menjelaskan temuan kami dengan bahasa yang mudah dipahami.
Bayangkan sebuah kota di Indonesia, mungkin Bima, Manado, atau Pontianak. Di kota-kota ini, banyak komunitas yang tinggal di daerah rawan banjir. Mereka menghadapi ancaman banjir secara berkala, yang dapat merusak rumah, harta benda, dan mata pencaharian mereka. Bagaimana mereka bertahan? Apakah kekayaan materi menjamin ketahanan mereka? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong kami untuk melakukan penelitian ini.
Penelitian kami berfokus pada tiga kota di Indonesia: Bima, Manado, dan Pontianak. Ketiga kota ini dipilih karena karakteristiknya yang sama, yaitu memiliki daerah pemukiman kumuh yang rentan terhadap banjir. Kami melakukan survei kepada 700 responden di ketiga kota tersebut, dengan masing-masing kota memiliki 200 hingga 300 responden. Responden dipilih secara acak dengan metode yang terukur, memastikan representasi yang baik dari populasi di daerah tersebut.
Sebelum membahas hasil penelitian, penting untuk memahami konsep-konsep kunci yang kami gunakan. Pertama, ketahanan rumah tangga (household resilience) mengacu pada kemampuan rumah tangga untuk mengatasi dan pulih dari dampak bencana banjir. Ini mencakup kemampuan mereka untuk mengamankan makanan, pendapatan, dan melakukan evakuasi yang aman.
Kedua, kesejahteraan material (material well-being) diukur dalam dua aspek: portofolio kekayaan (wealth portfolio), yang mencakup aset-aset materi seperti rumah, kendaraan, dan tabungan; dan kesejahteraan material subyektif (subjective material well-being, SMWB), yang mengukur seberapa puas responden dengan kondisi keuangan mereka. Perbedaan ini penting karena seseorang mungkin memiliki banyak aset tetapi tidak merasa puas dengan kondisi keuangannya, atau sebaliknya.
Ketiga, keterikatan tempat (place attachment) menggambarkan ikatan emosional seseorang dengan tempat tinggalnya. Ini mencakup rasa identitas tempat, ketergantungan pada tempat, ikatan dengan alam, keluarga, dan teman-teman. Semakin kuat keterikatan tempat, semakin besar kemungkinan seseorang untuk bertahan di tempat tersebut meskipun menghadapi risiko.
Terakhir, persepsi risiko (risk perception) mengacu pada bagaimana seseorang memandang risiko banjir di lingkungan mereka. Semakin tinggi persepsi risiko, semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengambil tindakan pencegahan.
Hasil penelitian kami menunjukkan hubungan yang kompleks antara variabel-variabel tersebut. Kami menemukan bahwa kesejahteraan material subyektif (SMWB) memiliki hubungan positif yang signifikan dengan ketahanan rumah tangga. Artinya, semakin puas seseorang dengan kondisi keuangannya, semakin tinggi ketahanan rumah tangganya. Namun, hubungan ini tidak berlaku untuk portofolio kekayaan. Kami menemukan bahwa jumlah aset materi tidak secara langsung berkorelasi dengan ketahanan rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa kepuasan terhadap kondisi keuangan, bukan sekadar jumlah aset, lebih berpengaruh terhadap ketahanan.
Lebih menarik lagi, kami menemukan hubungan yang tidak terduga antara persepsi risiko, kesejahteraan material subyektif, keterikatan tempat, dan ketahanan rumah tangga. Responden dengan persepsi risiko tinggi cenderung memiliki keterikatan tempat yang lebih tinggi, meskipun mereka memiliki kesejahteraan material subyektif yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi keuangan mereka mungkin kurang baik, ikatan emosional mereka dengan tempat tinggal mendorong mereka untuk tetap bertahan dan menghadapi risiko banjir.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keterikatan tempat memainkan peran penting sebagai mediator antara kesejahteraan material subyektif dan ketahanan rumah tangga. Artinya, kesejahteraan material subyektif memengaruhi ketahanan rumah tangga melalui keterikatan tempat. Semakin puas seseorang dengan kondisi keuangannya, semakin tinggi keterikatan tempatnya, dan semakin tinggi ketahanan rumah tangganya. Namun, hubungan ini dimodifikasi oleh persepsi risiko. Pada kelompok dengan persepsi risiko tinggi, hubungan antara kesejahteraan material subyektif dan ketahanan rumah tangga menjadi negatif. Ini menunjukkan bahwa persepsi risiko dapat memodifikasi dampak kesejahteraan material subyektif terhadap keterikatan tempat dan, akibatnya, ketahanan rumah tangga.
Temuan ini menantang asumsi umum bahwa kekayaan materi secara otomatis menjamin ketahanan. Penelitian kami menunjukkan bahwa faktor-faktor subyektif seperti kepuasan keuangan dan keterikatan tempat memainkan peran yang sama pentingnya, bahkan lebih penting dalam beberapa kasus, dalam menentukan ketahanan rumah tangga di komunitas rawan bencana. Persepsi risiko juga menjadi faktor kunci yang perlu dipertimbangkan.
Kesimpulannya, penelitian ini memberikan wawasan baru tentang ketahanan rumah tangga di komunitas perkotaan rawan banjir di Indonesia. Kami menemukan bahwa kesejahteraan material subyektif, keterikatan tempat, dan persepsi risiko saling berinteraksi secara kompleks dalam menentukan ketahanan rumah tangga. Temuan ini memiliki implikasi penting bagi upaya pembangunan yang berkelanjutan dan berfokus pada peningkatan ketahanan komunitas di daerah rawan bencana. Upaya-upaya tersebut harus memperhatikan tidak hanya aspek material, tetapi juga aspek psikologis dan sosial, termasuk ikatan emosional masyarakat dengan tempat tinggal mereka dan persepsi mereka terhadap risiko. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami lebih dalam dinamika kompleks ini dan mengembangkan strategi intervensi yang lebih efektif.

Tery Setiawan

Bagus Takwin

Edwin de Jong

Christina Stavrou